Jakarta - Sejumlah kementerian dan lembaga pemerintahan memerintahkan kepada seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk tidak terlibat dalam aksi terorisme dan radikalisme.
Upaya ini sebagai tindak lanjut aksi teror yang terjadi di beberapa lokasi di Indonesia pada pertengahan Mei tahun 2018.
Dalam aksi tersebut banyak orang yang terduga terlibat aksi tersebut dari berbagai profesi, mulai dari pengusaha, PNS, dan pegawai BUMN.
Berawal dari hal itu, Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB), Herman Suryatman mengimbau kepada seluruh PNS untuk tidak bermain-main dengan aksi teror dan ujaran kebencian tersebut.
"ASN sebagai profesi harus berlandaskan pada nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, serta menjaga komitmen, integritas moral dan tanggung jawab pelayanan publik," tutur Herman kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Ia menjelaskan, ada ketentuan mengatur PNS, antara lain UU ASN, PP 11/2017 tentang Manajemen PNS, PP 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP 42/2014 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
Seluruh aturan tersebut, Herman klaim sudah mengatur seluruh hak dan kewajiban PNS. Dengan demikian, tidak ada alasan pagi para PNS untuk tidak patuh kepada UU.
"Karena itu pula maka ASN wajib memegang teguh ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945," ujar dia. (Yas)
BKN Akui Ada PNS Penganut Paham Radikalisme
Sebelumnya, pemerintah diminta untuk membersihkan lembaga pemerintahan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki atau menyebarkan paham radikalisme. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk menutup celah berkembangnya radikalisme yang menjadi akar dari aksi-aksi terorisme belakangan ini.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengaku, tidak memiliki data pasti terkait PNS yang terlibat dalam paham radikalisme. Namun demikian, potensi paham tersebut menyebar dalam lingkungan PNS tetap ada.
"Saya tidak punya datanya, tapi barang kali saja ada," ucapnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu 20 Mei 2018.
Dia mengungkapkan, penyebaran paham radikalisme seperti ini bisa berjalan cepat dan tidak diketahui oleh masyarakat. Pasalnya, pasca-era reformasi, pengawasan terhadap masuknya paham-paham seperti ini menjadi lebih longgar.
"Selama reformasi ini kan kita tidak terlalu ketat mengawasi hal seperti itu. Itu dianggap kebebasan berserikat dan berpendapat," ucap Bima.
Dia mencontohkan, saat adanya keputusan larangan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tahun lalu, ternyata ada sejumlah PNS yang terindikasi menjadi anggota organisasi tersebut. Sebab, sebelumnya memang tidak ada larangan lantaran HTI dulunya merupakan organisasi yang legal.
"(Sebagai contoh) Sampai saat ini pun HTI masih menganggap itu kebebasan berpendapat dan berserikat yang diatur dalam UUD, tapi baru sekarang ini ada keputusan pengadilan bahwa HTI dilarang. Kalau sebelum dicabut, ya tidak apa-apa menjadi anggota HTI, orang sebelumnya organisasi legal. Tapi sekarang ini, apakah mereka (PNS) masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan itu, nah ini yang harus kita lihat," pungkasnya.
Namun demikian, BKN menyatakan, pemerintah saat ini juga telah secara ketat dan tegas untuk melarang PNS terlibat dalam organisasi yang berpaham radikal dan melanggar Pancasila.
"Tapi dari sisi aturan sudah sangat tegas. Dari mereka masuk CPNS sudah harus bersumpah pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan lain-lain. Jadi banyak sekali aturan yang melarang mereka untuk melakukan seperti itu," tuturnya.
(sumber: Liputan6.com)
Upaya ini sebagai tindak lanjut aksi teror yang terjadi di beberapa lokasi di Indonesia pada pertengahan Mei tahun 2018.
Dalam aksi tersebut banyak orang yang terduga terlibat aksi tersebut dari berbagai profesi, mulai dari pengusaha, PNS, dan pegawai BUMN.
Berawal dari hal itu, Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB), Herman Suryatman mengimbau kepada seluruh PNS untuk tidak bermain-main dengan aksi teror dan ujaran kebencian tersebut.
"ASN sebagai profesi harus berlandaskan pada nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, serta menjaga komitmen, integritas moral dan tanggung jawab pelayanan publik," tutur Herman kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Ia menjelaskan, ada ketentuan mengatur PNS, antara lain UU ASN, PP 11/2017 tentang Manajemen PNS, PP 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP 42/2014 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
Seluruh aturan tersebut, Herman klaim sudah mengatur seluruh hak dan kewajiban PNS. Dengan demikian, tidak ada alasan pagi para PNS untuk tidak patuh kepada UU.
"Karena itu pula maka ASN wajib memegang teguh ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945," ujar dia. (Yas)
BKN Akui Ada PNS Penganut Paham Radikalisme
Sebelumnya, pemerintah diminta untuk membersihkan lembaga pemerintahan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki atau menyebarkan paham radikalisme. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk menutup celah berkembangnya radikalisme yang menjadi akar dari aksi-aksi terorisme belakangan ini.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengaku, tidak memiliki data pasti terkait PNS yang terlibat dalam paham radikalisme. Namun demikian, potensi paham tersebut menyebar dalam lingkungan PNS tetap ada.
"Saya tidak punya datanya, tapi barang kali saja ada," ucapnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu 20 Mei 2018.
Dia mengungkapkan, penyebaran paham radikalisme seperti ini bisa berjalan cepat dan tidak diketahui oleh masyarakat. Pasalnya, pasca-era reformasi, pengawasan terhadap masuknya paham-paham seperti ini menjadi lebih longgar.
"Selama reformasi ini kan kita tidak terlalu ketat mengawasi hal seperti itu. Itu dianggap kebebasan berserikat dan berpendapat," ucap Bima.
Dia mencontohkan, saat adanya keputusan larangan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tahun lalu, ternyata ada sejumlah PNS yang terindikasi menjadi anggota organisasi tersebut. Sebab, sebelumnya memang tidak ada larangan lantaran HTI dulunya merupakan organisasi yang legal.
"(Sebagai contoh) Sampai saat ini pun HTI masih menganggap itu kebebasan berpendapat dan berserikat yang diatur dalam UUD, tapi baru sekarang ini ada keputusan pengadilan bahwa HTI dilarang. Kalau sebelum dicabut, ya tidak apa-apa menjadi anggota HTI, orang sebelumnya organisasi legal. Tapi sekarang ini, apakah mereka (PNS) masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan itu, nah ini yang harus kita lihat," pungkasnya.
Namun demikian, BKN menyatakan, pemerintah saat ini juga telah secara ketat dan tegas untuk melarang PNS terlibat dalam organisasi yang berpaham radikal dan melanggar Pancasila.
"Tapi dari sisi aturan sudah sangat tegas. Dari mereka masuk CPNS sudah harus bersumpah pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan lain-lain. Jadi banyak sekali aturan yang melarang mereka untuk melakukan seperti itu," tuturnya.
(sumber: Liputan6.com)
0 komentar:
Posting Komentar