Karakteristik Anak Disleksia
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys berarti sulit dan legein berarti berbicara. Jadi, menderita disleksia berarti “menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis” (Auryn, 2007, hlm. 92). Menurut Partowisastro (1986, hlm. 50) disleksia adalah “seorang anak yang mengalami gagal belajar membaca yang diakibatkan karena fungsi neurologis (susunan dan hubungan saraf) tertentu, atau pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana diharapkan”.
Berdasar pada sejumlah definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa disleksia adalah seorang anak yang menderita gangguan pada penglihatan dan pendengaran yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis yang disebabkan karena fungsi neurologis tertentu atau pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi dengan baik.
Tanda-tanda disleksia tidak terlalu sulit dikenali. Anak yang menderita disleksia apabila diberi sebuah buku yang tidak mereka tahu, mereka akan membuat cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada di buku tersebut, yang mana antara gambar dan ceritanya tidak memiliki keterkaitan sedikitpun.
Menurut Wood, dkk. (2007, hlm. 28) “anak yang mengidap disleksia mengalami ketidakmampuan dalam membedakan dan memisahkan bunyi dari kata-kata yang diucapkan”. Sebagai contoh, anak tidak dapat memahami makna kata “buku” dan malah mengeja satu persatu huruf yang membentuk kata tersebut. Selain itu, anak yang mengidap disleksia memiliki kesulitan dalam permainan yang mengucapkan bunyi-bunyi yang mirip, seperti salah mengucap “buku” dan “bulu”.
Lebih lanjut, Fanu (2007, hlm. 60) mengemukakan ciri-ciri anak disleksia, sebagai berikut:
1. Membaca dengan amat lamban dan terkesan tidak yakin atas apa yang ia ucapkan.
2. Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya.
3. Melewatkan beberapa suku kata, frasa, atau bahkan baris-baris dalam teks.
4. Menambahkan kata-kata atau frasa-frasa yang tidak ada dalam teks yang dibaca.
5. Mebolak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan huruf-huruf lain.
6. Salah melafalkan kata-kata dengan kata lainnya, sekalipun kata yang diganti tidak memiliki arti yang penting dalam teks yang dibaca.
7. Membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti.
8. Mengabaikan tanda-tanda baca.
Sedangkan menurut Sulhan (2006, hlm. 36) ciri-ciri anak disleksia, di antaranya:
1. Tidak lancar membaca.
2. Sering terjadi kesalahan dalam membaca.
3. Kemampuan memahami isi bacaan sangat rendah.
4. Sulit membedakan huruf yang mirip.
Semua anak pernah membuat kesalahan-kesalahan seperti di atas ketika mereka baru mulai belajar membaca. Tetapi, pada anak-anak yang menderita disleksia kesulitan-kesulitan tersebut terus berlanjut dan menjadi masalah tersendiri bagi perkembangan prestasi akademik mereka.
Terdapat dua tipe disleksia, dijabarkan sebagai berikut:
1. Tipe auditoris (auditory processing problems)
Auditory processing problems adalah ketidakmampuan membedakan antara bunyi-bunyi yang sama dari kata-kata yang diucapkan, atau untuk membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan.
Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe auditoris ini menurut Sulhan (2006, hlm. 35), sebagai berikut:
a. Kesulitan dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam analitis fonetik. Contohnya anak tidak bisa membedakan kata “katak”, “kakak”, dan “bapak”.
b. Kesulitan analisis dan sintesis auditoris. Contohnya kata “ibu” tidak dapat diuraikan menjadi “i-bu”.
c. Kesulitan auditoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau jika melihat kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kata tersebut.
d. Membaca dalam hati lebih baik daripada membaca dengan lisan.
e. Kadang-kadang disertai dengan gangguan urutan auditoris.
f. Anak cenderung melakukan aktivitas visual.
2. Tipe visual
Permasalahan penglihatan yang akut memang sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca anak. Ketidaksesuaian ini diduga berpengaruh terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata, yang mana kondisi ini berakibat pada terganggunya koordinasi mata.
Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe visual menurut Sulhan (2006, hlm. 36), sebagai berikut:
a. Tendensi terbalik, misalnya “b” dibaca “d”, “p” dibaca “g”, “u” dibaca “n”, “m” dibaca “w”, dan sebagainya.
b. Kesulitan diskriminasi pada huruf-huruf atau kata-kata yang mirip.
c. Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi huruf cetak untuk menyusun kata akan mengalami kesulitan, misalnya kata “ibu” menjadi “ubi” atau “iub”.
d. Memori visual terganggu.
e. Kecepatan persepsi lambat.
f. Kesulitan analisis dan sisntesis visual.
g. Hasil tes membaca buruk.
h. Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.
Referensi
Auryn, V. (2007). How to Create a Smart Kids (Cara Praktis Menciptakan Anak Sehat dan Cerdas). Yogyakarta: Kata Hati.
Fanu, J. L. (2007). Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologis Anak. Yogyakarta: Think.
Partowisastro, K. (1986). Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sulhan, N. (2006). Pembangunan Karakter pada Anak Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif. Surabaya: SIC.
Wood, D., dkk. (2007). Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Yogyakarta: Kata Hati.
0 komentar:
Posting Komentar