SUARAPGRI - Rapat kerja Komisi X DPR RI dengan pemerintah yang salah satu keputusannya mengarahkan sebanyak 150.669 guru honorer K2 (kategori dua) menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) menjadi pro-kontra. Sebagian honorer menerima, tapi lebih banyak yang menolak.
"Kami tolak PPPK." Penegasan itu selalu diucapkan acapkali JPNN meminta tanggapan honorer K2 maupun non K2. Mereka merasa hanya status PNS yang layak diberikan kepada honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun dengan gaji di bawah standar kelayakan hidup.
Ada kesal bercampur pesimistis di sana. Mereka waswas, PPPK hanya alat pemerintah untuk meredam gejolak di kalangan honorer K2 maupun non-kategori.
"Pokoknya sampai kapanpun kami menolak PPPK. Kalau PPPK dianggap sama kesejahteraannya dengan PNS, kenapa enggak sekalian saja kami di-PNS-kan. Kok tanggung amat?," ucap Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih kepada JPNN, Senin (17/12).
Guru kelas di SDN Banjarnegara ini juga menegaskan, tidak akan ada kata menyerah bagi mereka untuk mendapatkan status PNS. Dia optimistis, jalan akan terbuka lebar bagi mereka.
Titi Purwaningsih tidak mau honorer K2 dibuang dengan cara tidak manusiawi. Ketika uang negara dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, tenaga honorer diperas sampai kering keringatnya. Giliran ada dana, honorer K2 dicampakkan, pemerintah merekrut CPNS dari jalur umum.
Keluhan Titi juga dirasakan oleh Eka Mujianta, koordinator wilayah FHK2I Yogyakarta. Honorer K2 hanya minta keadilan dari pemerintah.
Ia menyebut, pada tahun 2013 mereka sudah ikut tes CPNS dengan mengacu pada PP 56/2012. Namun, hanya 219 ribu yang diambil pemerintah tanpa mengetahui hasilnya seperti apa. Tahu-tahu pemerintah meluluskan nama-nama honorer K2 tanpa mencantumkan nilainya. Pemerintah juga yang menentukan kuota 30 persen dari 640 ribu honorer K2 saat itu.
"Kalau saja tidak ada pembatasan kuota 30 persen pasti banyak yang terakomodir. Sekarang masih banyak honorer K2 yang tercecer, itu bukan salah kami. Kami tetap bekerja dengan dedikasi tinggi walaupun honor kecil," imbuhnya.
Eka kembali mengungkapkan, honornya tidak cukup untuk beli bensin karena punya istri dan anak yang harus dihidupi. Anak-anaknya butuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Bekerja sejak 1995 dan sekarang sudah 23 tahun, tidak ada kejelasan status. Saat ini honorer K2 hanya minta belas kasihan pemerintah.
Sementara Korwil FHK2I Maluku Utara Said Amir mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mengantarkan honorer K2 menjadi PNS. Apalagi DPR justru menggiring honorer jadi calon PPPK.
Dia menilai ada pergeseran misi DPR terhadap penyelesaian honorer K2. Itu sebabnya, seluruh honorer mempertanyakan apa sebenarnya niat DPR.
Kesepakatan DPR dengan pemerintah juga dinilai tidak mewakili aspirasi rakyat. Sebab, yang diharapkan honorer adalah status PNS.
"Kok aneh DPR yang awalnya mendukung status PNS kini berbalik arah mem-PPPK kan kami. Badan Legislasi juga sepertinya tidak peduli lagi," pungkasnya.
Dia mengimbau agar DPR kembali ke marwah perjuangan. Yaitu mempercepat revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pintu masuk honorer K2 menjadi PNS. Jangan sampai DPR kemasukan angin dan lupa akan misinya.
Mereka bertanya-tanya ada apa dengan para legislator di Senayan. DPR digaji dan mendapatkan tunjangan besar karena dibayar rakyat termasuk honorer K2.
Said juga meminta kepada para politikus dari parpol pendukung pemerintah untuk menunaikan janjinya, mempercepat revisi UU ASN. Jangan sampai revisi terhalang karena parpol takluk kepada pemerintah.
"Tinggal daftar inventarisir masalah (DIM) kok DPR tidak bisa memaksa pemerintah menyerahkan. Mana itu para politikus PDIP katanya pengusung tunggal revisi UU ASN tapi sampai sekarang kami hanya di PHP (pemberi harapan palsu). Kalau begitu di pileg 2019 kami ganti saja anggota DPR RI," tuturnya.
(sumber: jpnn.com)
"Kami tolak PPPK." Penegasan itu selalu diucapkan acapkali JPNN meminta tanggapan honorer K2 maupun non K2. Mereka merasa hanya status PNS yang layak diberikan kepada honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun dengan gaji di bawah standar kelayakan hidup.
Ada kesal bercampur pesimistis di sana. Mereka waswas, PPPK hanya alat pemerintah untuk meredam gejolak di kalangan honorer K2 maupun non-kategori.
"Pokoknya sampai kapanpun kami menolak PPPK. Kalau PPPK dianggap sama kesejahteraannya dengan PNS, kenapa enggak sekalian saja kami di-PNS-kan. Kok tanggung amat?," ucap Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih kepada JPNN, Senin (17/12).
Guru kelas di SDN Banjarnegara ini juga menegaskan, tidak akan ada kata menyerah bagi mereka untuk mendapatkan status PNS. Dia optimistis, jalan akan terbuka lebar bagi mereka.
Titi Purwaningsih tidak mau honorer K2 dibuang dengan cara tidak manusiawi. Ketika uang negara dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, tenaga honorer diperas sampai kering keringatnya. Giliran ada dana, honorer K2 dicampakkan, pemerintah merekrut CPNS dari jalur umum.
Keluhan Titi juga dirasakan oleh Eka Mujianta, koordinator wilayah FHK2I Yogyakarta. Honorer K2 hanya minta keadilan dari pemerintah.
Ia menyebut, pada tahun 2013 mereka sudah ikut tes CPNS dengan mengacu pada PP 56/2012. Namun, hanya 219 ribu yang diambil pemerintah tanpa mengetahui hasilnya seperti apa. Tahu-tahu pemerintah meluluskan nama-nama honorer K2 tanpa mencantumkan nilainya. Pemerintah juga yang menentukan kuota 30 persen dari 640 ribu honorer K2 saat itu.
"Kalau saja tidak ada pembatasan kuota 30 persen pasti banyak yang terakomodir. Sekarang masih banyak honorer K2 yang tercecer, itu bukan salah kami. Kami tetap bekerja dengan dedikasi tinggi walaupun honor kecil," imbuhnya.
Eka kembali mengungkapkan, honornya tidak cukup untuk beli bensin karena punya istri dan anak yang harus dihidupi. Anak-anaknya butuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Bekerja sejak 1995 dan sekarang sudah 23 tahun, tidak ada kejelasan status. Saat ini honorer K2 hanya minta belas kasihan pemerintah.
Sementara Korwil FHK2I Maluku Utara Said Amir mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mengantarkan honorer K2 menjadi PNS. Apalagi DPR justru menggiring honorer jadi calon PPPK.
Dia menilai ada pergeseran misi DPR terhadap penyelesaian honorer K2. Itu sebabnya, seluruh honorer mempertanyakan apa sebenarnya niat DPR.
Kesepakatan DPR dengan pemerintah juga dinilai tidak mewakili aspirasi rakyat. Sebab, yang diharapkan honorer adalah status PNS.
"Kok aneh DPR yang awalnya mendukung status PNS kini berbalik arah mem-PPPK kan kami. Badan Legislasi juga sepertinya tidak peduli lagi," pungkasnya.
Dia mengimbau agar DPR kembali ke marwah perjuangan. Yaitu mempercepat revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pintu masuk honorer K2 menjadi PNS. Jangan sampai DPR kemasukan angin dan lupa akan misinya.
Mereka bertanya-tanya ada apa dengan para legislator di Senayan. DPR digaji dan mendapatkan tunjangan besar karena dibayar rakyat termasuk honorer K2.
Said juga meminta kepada para politikus dari parpol pendukung pemerintah untuk menunaikan janjinya, mempercepat revisi UU ASN. Jangan sampai revisi terhalang karena parpol takluk kepada pemerintah.
"Tinggal daftar inventarisir masalah (DIM) kok DPR tidak bisa memaksa pemerintah menyerahkan. Mana itu para politikus PDIP katanya pengusung tunggal revisi UU ASN tapi sampai sekarang kami hanya di PHP (pemberi harapan palsu). Kalau begitu di pileg 2019 kami ganti saja anggota DPR RI," tuturnya.
(sumber: jpnn.com)
0 komentar:
Posting Komentar