SUARAPGRI - Jakarta, Kebijakan lima hari sekolah selama berbulan-bulan menimbulkan masalah karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memulainya dengan mengeluarkan pernyataan Full Day School.
Kebijakan ini selanjutnya dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah. Pro kontra kemudian diakhiri oleh Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, penilaian PPK yang langsung wajib diimplementasikan tahun ajaran 2017/2018 juga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi para guru dan sejumlah sekolah.
Misalnya, hampir di seluruh SMA unggulan di Kota Mataram, NTB tidak bisa bagi rapor pada Sabtu (16/12) lantaran para guru kesulitan menyelesaikan proses penilaian yang sangat rumit.
"Implementasi PPK oleh guru-guru di sekolah banyak mengalami kendala. Dikarenakan sangat minimnya guru mendapatkan pelatihan dari pemerintah, apalagi pelatihan terkait pengintegrasian PPK dalam Kurikulum 2013," kata Heru, Selasa (26/12).
Akibatnya, PPK tersebut hanya sekadar muncul secara administratif dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru. Namun sukar bahkan tidak dalam implementasinya.
Heru juga mencontohkan, seorang guru agama dan PPKn mesti menilai belasan indikator sikap spritual serta sosial untuk satu orang siswa. Seorang guru bisa mengajar 10 kelas (bahkan lebih). Satu kelas diisi oleh sekitar 25-35 siswa. Jadi seorang guru harus menilai indikator sikap spritual dan sosial untuk sebanyak 300 siswa sekali nilai.
"Bayangkan betapa beratnya penilaian yang dilakukan. Padahal, penilaian tidak hanya urusan aspek PPK saja. Namun, ada penilaiaan penugasan, praktik, pengetahuan, keterampilan, projek dan lainnya," pungkasnya. (sumber: jpnn.com)
0 komentar:
Posting Komentar