Bisikan Suara Hati
Karya: Siti Putri Indriani
Editor: Rizki Siddiq Nugraha
Langit malam terlihat semakin gelap kala bintang tak bertaburan di atasnya. Kiya berada di depan halaman rumah dengan terus memandangi langit itu. Ia menantikan kedatangan Ibunya yang dari pagi tak kunjung pulang. Malam semakin larut kelopak mata Kiya sudah tidak kuat menahan rasa kantuknya. Namun tiba-tiba datang seseorang dari belakang dan menepuk pundak Kiya. Sontak Kiya melirik ke belakang dan langsung memberikan pelukan hangat. Ternyata dia orang yang dinantikannya dari tadi. Terlihat suasana bahagia malam itu. Ibu Kiya membawa kertas putih di meja kerjanya. Ia menuliskan kabar kepada anaknya bahwa Ia harus pindah kota karena kepentingan kantornya. Kiya tak memberikan tanggapan apa-apa. Ia sudah pasrah menerima kenyataan kalau Ibunya dan Ia harus pindah kota setiap saat untuk tetap bertahan hidup. Itu berarti Kiya harus pindah sekolah. Namun karena tempat tinggalnya jauh dari pusat kota, tidak ada pilihan lain Kiya harus masuk ke sekolah umum.
Tibalah hari Kiya harus bertemu dengan sekolah baru, teman baru, guru baru, suasana baru, dan keanehan yang baru pula. Ia masuk ke dalam kelas di mana siswa kelas IV sudah duduk rapi di bangkunya masing-masing dan seorang guru yang sedang sibuk di mejanya. Kiya masuk ke dalam kelas kemudian langsung meminta spidol kepada gurunya. Ia menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. “Assalamu’alaikum. Perkenalkan namaku Zakiyah Rahma biasa dipanggil Kiya. Aku tinggal di Perumahan Indah Permai. Senang bisa bertemu dengan kalian”. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya tersenyum manis. “Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru. Nama panggilannya Kiya. Namun Ia tidak seperti kalian. Kiya tidak bisa mendengar dan berbicara”. Jelas Bu Hani wali kelas siswa kelas IV. Bu Hani mengantarkan Kiya ke tempat duduknya.
Kiya memiliki buku khusus yang selalu Ia bawa kemana-mana. Kiya menggunakan buku itu untuk berkomunikasi dengan orang lain. “Nama kamu siapa?” dalam buku itu Kiya menuliskan pertanyaan kepada teman di sampingnya. “Aku Sheila”. Sheila menjawab pertanyaan Kiya. Mereka saling menatap dan dengan cepat Sheila menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Teng tong teng tong.. jam sekolah sudah berakhir. Bu Hani segera menutup pelajaran hari itu. Semua siswa kelas IV merapikan alat tulisnya kecuali Kiya. Ia justru memperhatikan teman-temannya. “Kamu diem aja Kiya. Ga akan pulang? Hey Kiya. Eh lupa anak tuli ya. Upss”. Ujar Ratih. Tiba-tiba satu orang anak laki-laki mengambil bukunya. Kiya berusaha mengambil buku yang sedang dipegang temannya hingga Ia berlarian di kelas. Sheila terlihat emosi melihat kejadian itu. “Hei kalian jangan gitu”. Teriak Sheila. “Awas ada yang marah. Kabur”. Teriak Ardi yang dari tadi membawa buku Kiya dan melempar buku Kiya ke lantai. Kiya membawa bukunya dengan wajah tersenyum. Teman-temannya merasa aneh. Sheila kemudian membantu merapikan alat tulisnya. Di depan gerbang, Kiya sudah ditunggu supir pribadinya. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan kepada Sheila.
Hari semakin larut. “Hmmm, Ibu belum pulang aja. Di sms ga dibales terus”. Ia termenung dan duduk di halaman rumah sambil membaca buku kesukaannya. Langit semakin gelap namun Ibu Kiya belum juga pulang. Akhirnya Ia pindah ke kamarnya dan tertidur pulas di tempat itu.
“Selamat pagi anak cantik Ibu”. Kiya yang baru saja membuka mata langsung memeluk Ibunya. “Bagaimana sekolah kemarin? Maaf ya Ibu pulang malem banget”, jelas Ibu Kiya dengan bahasa isyarat. “Sekolahnya seru. Iya tidak apa-apa”, jawabnya dengan bahasa isyarat pula. “Sekarang siap-siap lagi yu berangkat sekolah. Ibu antar ke sekolah”, ajak Ibu Kiya. Kiya langsung mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Setelah persiapannya sudah rapi. “Bunn-da a-oo be-an-kat”, ajak Kiya dengan menggerakan bibirnya dan menarik tangan bundanya. “Ini makanan buat teman-teman di kelasnya ya. Dibagikan!” Ujar Ibunya sambil menunjuk ke wadah makanan yang harus Kiya bawa. Dengan cepat Kiya menunjukkan jempol kedua tangannya sebagai pertanda oke.
Di dalam kelas semua siswa sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Di sana Kiya sedang memandangi wadah makanan yang Ia bawa. “Aku ingin membagikan makanan ini kepada semua teman-teman namun harus dengan cara apa aku membagikannya, Ya Tuhan”. Kini Kiya masuk ke dunia yang tak pernah Ia kenal. Dunia di mana banyak anak yang menggerakkan mulutnya dengan lancar, dunia dengan berbagai ekspresi, dunia yang penuh dengan perbincangan. Kini tak ada lagi dunia di mana semua anak menggerakkan bahasa tubuhnya hanya untuk bermain bahkan belajar. Tapi bagi Kiya dunia itu tetap sama. Dunia dalam keheningan.
“Kiya”. Panggil Sheila sambil menyentuh pundak Kiya perlahan. Tanpa menuliskan apapun Kiya memberikan wadah makanan yang dibawanya. “Banyak banget. Ini buat siapa? Buat kita semua?” Sheila menulis pertanyaan itu. Kiya menganggukan kepalanya. “Teman-teman, ini ada makanan buat kita semua dari Kiya”, Sheila berbicara di depan kelas. “Ih jangan mau deh, nanti kebawa ga bisa denger lo”, ujar Cantika. “Iya ih takut ya”, jawab teman-teman lainnya. “Hei orang yang diomonginnya juga ga denger ya hahaha”, ujar Cantika kembali. “Oke kalo kalian pada ga mau. Aku kasihkan ke kelas III aja”. Sheila langsung berlari pergi keluar kelas. Dengan wajah bingung, Kiya ikut keluar dan mendekati Sheila. Dari jauh terlihat Sheila yang sedang memberikan makanan Kiya ke kelas III. Setelah itu Sheila tersenyum kepada Kiya dan membawa Kiya ke dalam kelas kembali.
Hari demi hari Kiya mulai bersosialisasi dengan teman kelasnya. Hari itu giliran mata pelajaran olahraga. Kiya dengan gembira mengikuti pelajaran dengan baik. Berlarian di tengah lapangan di atas matahari yang terik. “Hey, aku penasaran sama alat yang ada di telinga Kiya. Apaan sih itu. Aku cabut ah”, ujar Ardi. “Iya itu apa ya”, balas temannya. Kiya terus berlarian kesana kemari. “Satu, dua, tiga...”, mereka berhitung. Ardi dengan sengaja mencabut alat yang menempel di telinga Kiya. “Kiya, Kiya.. Kiya kenapa”, Sheila kaget melihat darah yang keluar dari telinga Kiya. Dengan segera Pak Soni membawa Kiya ke UKS. Namun karena darah dari telinga Kiya tak henti-hentinya keluar, Kiya langsung dilarikan ke Klinik yang tak jauh dari sekolahnya. Semua siswa kelas IV merasa kaget, mereka masuk ke kelas dan terdiam rapi di bangkunya masing-masing. Tak, tik, tuk, tak, tik, tuk.. Suara langkah kaki terdengar kencang. “Ada Bu Hani”, teriak Raka. “Karena kalian Kiya dilarikan ke klinik dan kondisinya kritis”. Kalimat ini dilontarkan Bu Hani dengan nada kecewa, setelah itu langsung pergi meninggalkan ruang kelas. Sejak saat itu Kiya tidak masuk sekolah. Terlihat Sheila sejak itu sering duduk sendiri di taman sekolah, nampaknya Ia merasa kehilangan teman baiknya dan Ia rindu senyum Kiya.
Beberapa hari kemudian, Kiya kembali ke sekolah namun tanpa menggunakan seragam. Ia masuk ke ruang kelasnya dengan membawa spidol dan mulai menulis di papan tulis. “Selamat pagi teman-teman. Maafkan jika selama aku ikut belajar di kelas ini aku banyak salah, aku mengganggu kegiatan kalian. Mulai sekarang aku tidak akan melakukannya lagi. Aku pindah dan kembali sekolah bersama teman-teman lamaku. Salam hangat. Kiya”. Semua siswa kelas IV menangis tersedu-sedu. Sheila lari menghampiri Kiya dan memeluknya dengan erat. Ardi bersujud di kaki Kiya “Kiya jangan pergi. Maafkan aku. Aku janji tidak akan jahat ke kamu lagi”. Kiya kemudian menjawab “A-ku sa-yang ka-i-an. Ak-u ma-u di-si-ni be-sa-ma ka-i-an”, sambil menggerakkan bibirnya dan menggunakan bahasa isyarat Kiya melontarkan kalimat itu. Semua siswa kelas IV memeluk Kiya dan mengajak lagi Kiya untuk tetap belajar bersama mereka.
Melihat kejadian itu, Ibu Kiya mengurungkan niat untuk memindahkan Kiya ke sekolah lamanya dan tetap berada di sekolah itu dengan teman-teman yang sangat menyayangi Kiya. Kiya memang berbeda dengan teman-temannya, namun Ia menunjukkan bahwa senyum dapat merubah dunia heningnya menjadi dunia penuh warna keceriaan.
Haréwosan Sora Haté
Karya: Siti Putri Indriani
Editor: Rizki Siddiq Nugraha
Lalangit peuting beuki katingal poék pas béntang taya nyampak di luhur. Kiya aya di buruan imah beri nempo lalangit éta. Manéhna nungguan balik indung na nu ti isuk can balik waé. Peuting beki peuting, panon Kiya geus teu kuat nahan tunduhna. Tuluy ujug-ujug datang salah saurang ti tukang jeung nangkeup Kiya. Kiya tuluy ningal ka tukang jeung langsung nangkeup. Pék téh éta indung na nu titatadi di tungguan. Katingal sumringah peuting éta. Indung Kiya mawa kertas bodas di meja gawéna. Manéhna nuliskeun kabar ka budakna yén kudu pindah kota kusabab kapentingan kantorna. Kiya teu méré respon nanaon. Manéhna geus pasrah narima yén indungna jeung manéhna kudu tuluy pindah kota jang hirup. Éta artina Kiya kudu pindah sakola. Mung kusabab tempat cicingna jauh ti pusat kota, teu aya pilihan séjén Kiya kudu asup sakola umum.
Ahirna datang poé Kiya kudu sakola di sakola nu anyar, babaturan anyar, guru anyar, jeung kaanehan nu anyar ogé. Manéhna asup ka kelas IV, barudak nu séjén geus diuk rapi di bangkuna jeung saurang guru nu riweuh di mejana. Kiya asup ka kelas tuluy langsung ménta spidol ka guruna. Manéhna nuliskan sababaraha kalimah dina papan tulis. “Assalamu’alaikum. Nepangkeun wasta abdi Zakiyah Rahma biasa disebut Kiya. Abdi linggih di Perumahan Indah Permai. Seneng tiasa pendak saréng sadayana”. Manéhna teu ngaluarkeun sakecap-kecap acan beri seuri imut. “Barudak poé ieu arurang kadatangan rerencangan anyar. Namina Kiya. Mung Kiya benten saréng arurang. Kiya teu tiasa ngadangu sareng nyarios”. Jelas Bu Hani wali kelas murid kelas IV. Bu Hani tulut nganteur Kiya ka tempat diukna.
Kiya miboga buku kusus nu tuluy manéhna bawa kamana-mana. Kiya ngagunakeun buku éta jang komunikasi jeung batur. “Namina saha?” dina buku éta Kiya nuliskeun pananya ka babaruran di gigireunna. “Abi Sheila”. Sheila ngajawab pananya Kiya. Maranéhna silih pelong, gancang Sheila nyodorkeun leungeunna jang nyalaman. Teng tong teng tong.. jam sakola geus beres. Bu hani geuwat nutup pangajaran poé éta. Sakabéh murid kela IV ngarapihkeun diukna iwal Kiya. Manéhna justru merhatikeun babaturanna. “Kiya cicing waé. Moal uih? Hey Kiya. Eh hilap budak bongé nya. Upss”. Ujar Ratih. Tuluy salah sahiji budak lalaki ngarebut buku Kiya. Kiya tuluy ngusahakeun nyokot deui buku nu direbut babaturanna nepi manéhna lulumpatan di kelas. Sheila katempo ngambek nempo kajadian éta. “Hei maranéh ulah kita”. Gorowok Shelia. “Awas aya nu ngambek, kabur”. Gorowok Ardi nu tadi ngarebut buku Kiya beri ngalungkeun buku Kita. Kiya mawa buku éta beri tetep seuri imut. Sakabéh babaturanna ngarasa aneh. Sheila tuluy mantuan ngarapihkeun babawaan Kiya. Di hareupeun gerbang, Kiya geus ditungguan supirna. Manéhna langsung asup kana mobil beri ngagupayan ka Sheila.
Poé beuki peuting. “Hmmm, ibu teu acan uih waé. Di sms teu ngabales”. Manéhna merenung jeung diuk di buruan imahna beri maca buku karesepna. Lalangit beuki poék ngan indungna Kiya can balik waé. Ahirna manéhna pindah ka kamarna tuluy bobo.
“Wilujeng enjing budak ibu nu geulis”. Kiya nu nembe gugah tuluy nangkeup indungna. “Kumaha sakalo kamari? Punten ibu uih na wengi pisan”, jelas indungna Kiya maké basa isarat. “Sakolana resep, muhun teu nanaon”, jawab Kiya nganggo basa isarat ogé. “Ayeuna siap-siap deui yu angkat sakola. Ibu anteur ka sakola”, ajak indungna Kiya. Kiya tuluh mawa anduk jeung ka kamar mandi. Geus siap jeung rapih. “I-bu a-uu an-kat”, ajak Kiya beri metot leungeun indungna. “ieu emameun kanggo rerencangan di kelas nya. Dibagikeun!” Saur indungna beri nunjuk kana wadah emameun nu kedah dicandak ku Kiya. Kiya méré isarat maké acungan dua jempol tanda oke.
Di kelas sakabéh murid riweuh kana kagiatanna séwang-séwang. Di dinya Kiya nuju ningalikeun wadah emameun nu dibawa ku manéhna. “Kuring hayang ngabagikeun emameun ieu ka sadaya rerencangan mung kedah kumaha carana, Ya Tuhan.” Ayeuna Kiya asup ka dunya nu teu pernah manéhna apal. Dunya nu loba budak nu ngobrol lancar, dunya nu pinuh ku ekspresi, dunya nu pinuh ku obrolan. Ayeuna teu aya deui dunya nu sakabéh budak maké basa isarat jang ulin ogé diajar. Mung jang Kiya dunya éta angger sarua. Dunya nu hening.
“Kiya”, Sheila ngageroan beri noél punukna Kiya lalaunan. Teu nuliskeun nanaon Kiya tuluy mérékeun wadah emameun nu dibawana. “Seueur pisan. Ieu kanggo saha? Kanggo urang sadayana?” Sheila nuliskeun pananya éta. Kiya tuluy ngunggek. “Hei sadayana, ieu aya emameun kanggo arurang ti Kiya”, Sheila ngobrol dihareupeun kelas. “Ih ulah hayang, engké kabawa bongé geura”, ujar Cantika. “Enya ih sieun nya”, jawab babaturanna nu séjén. “Hei nu diobrolkeun na waé gé pan teu bisa ngadangu hahaha”, ujar Cantika deui. “Oke mun maranéh embung. Abi pasihkeun ka kelas III wé”. Sheila tuluy lumpat kaluar kelas. Beri bingung, Kiya tuluy milu kaluar jeung ngadeukeutan Sheila. Ti jauh katingal Sheila nuju masihkeun emameun Kiya ka kelas III. Saenggeus éta Sheila seuri imut ka Kiya jeung mawa Kiya ka jero kelas deui.
Poé tuluy liwat Kiya mimiti wawuh jeung babaturan kelasna. Poé éta diajar olahraga. Kiya gumbira milu pangajaran. Lulumpatan di tengah lapang dina panon poé papanasna. “Hey, kuring panasaran kana alat nu aya dina cepil Kiya. Naon sih éta. Kuring cabut ah”, ujar Ardi. “Enya éta naon nya”, bales babaturanna. Kiya tuluy lulumpatan kaditu-kadieu. “Hiji, dua, tilu...” maranéhna ngitung. Ardi ngahaja nyabut alat nu napel dina cepil Kiya. “Kiya, Kiya.. Kiya kunaon”, Sheila reuwas ningal geutih kaluar tina cepil Kiya. Pa Soni tuluy langsung mawa Kiya ka UKS. Mung kusabab geutih tina cepil Kiya teu eureun-eureun waé, Kiya tuluy dibawa ka klinik nu teu jauh ti sakola. Sakabéh murid kelas IV reuwas, maranéhna asup ka kelas jeung caricing répéh dina korsi séwang-séwang. Tak, tik, tuk, tak, tik, tuk.. Sora léngkah kadangu tarik. “Aya Bu Hani”, gorowok Raka. “Kusabab maranéh Kiya dibawa ka klinik jeung kondisina ripuh”. Kalimah éta dilontarkeun Bu Hani bari kuciwa, saeunggeus éta tuluy indit ninggalkeun rohangan kelas. Ti kala éta Kiya teu asup sakola. Katémpo Sheila ti pas éta mindeng diuk sorangan di taman sakola, katingal manéhna ngarasa kaleungitan sobat deukeutna jeung manéhna rindu seuri imut Kiya.
Sababaraha poé tidinya, Kiya balik deui ka sakola mung teu maké seragam. Manéhna asup ka rohangan kelas bari mawa spidol jeung tuluy nulis di bor. “Wilujeng énjing sobat sadaya. Hapunten lamun salami abdi ngiring diajar di kelas ieu abdi seueur leupat, abdi ngaganggu kagiatan sadayana. Mimiti ayeuna abdi moal deui ngalakukeun éta. Abdi pindah jeung balik deui ka sakola jeung rerencangan lami abdi. Salam sayang. Kiya.” Sakabéh murid kelas IV ceurik nyegruk. Sheila lumpat ngadeukeutan Kiya jeung nangkeup Kiya. Ardi sujud dina sukuna Kiya, “Kiya ulah pindah. Hapuntén abdi. Abdi janji moal jahat deui ka Kiya”. Kiya tuluy ngajawab “Ab-di nya-ah ka-sa-da-ya. Ab-di ho-yong di-di-eu sa-reng sa-da-ya-na”, beri ngagunakeun basa isarat Kiya ngalontarkeun kalimah éta. Sakabéh murid kelas IV nangkeup Kiya jeung ngajak deui Kiya kanggo diajar sasarengan.
Ningal kajadian éta, indungna Kiya ngurungkeun niatan jang mindahkeun Kiya ka sakola lilana jeung tetep sakola di sakola éta jeung sakabéh babaturan nu nyaah ka Kiya. Kiya emang béda jeung babaturanna, mung manéhna nunjukkeun yén seuri imut na bisa ngarubah dunya heningna jadi dunya nu pinuh warna.
The Whisper of The Heart
Karya: Siti Putri Indriani
Editor: Rizki Siddiq Nugraha
The night sky looks darker when the star is not scattered on it. Kiya is in front of the yard by looking at the sky. She awaits the arrival of her mother who from morning never go home. The night is getting late Kiya’s eyelids are not strong enough to resist the drowsiness. But suddenly someone come from behind and patted Kiya’s shoulder. Suddenly Kiya glanced back and immediately give a warm hug. Apparently she was the one she had been looking forward to. Looks happy atmosphere that night. Kiya’s mother bring white paper on her desk. She write the news to his daughter that she had to move the city because of the importance of her office. Kiya give no response. She was resigned to accept the fact that her mother and she had to move the city at all times to survive. That means Kiya hat to school. However, because her residence is far from the city center, there is no other choice Kiya must go to public school.
The day Kiya come to meet new school, new friends, new teachers, new atmosphere, and new oddities as well. She entered the classroom where the fourth grader was sitting nearly in there own stool and a busy teacher at her desk. Kiya enter the class and immediately ask the marker to the teacher. She write a few sentence on the board. “Assalamu’alaikum. Introduce my name Zakiyah Rahma used to be called Kiya. I live in Indah Permata Residence. Nice to meet you guys”. She did not say a word and just smiled sweetly. “All children today we are coming new friends. Nickname is Kiya. But she is not like you. Kiya can not hear and speak”. Obviously Mrs. Hani is the homeroom teacher of fourt grader students. Mrs. Hani escorted Kiya to her seat.
Kiya has a special book that she always takes it anywhere. Kiya uses the book to communicate with others. “Who’s your name?” In the book Kiya write a question to a friend beside her. “I’m Sheila”. Sheila answers Kiya’s question. They stared at each other and Sheila quickly thrust her hand to shake hands. Teng tong teng tong.. school hours are over. Mrs. Hani immediately closed the lesson that day. All fourth grade students tidied up their stationery except Kiya. She paid attention to her friends. “You’re just motiontless Kiya. Not going home? Hey Kiya. Eh i forget the deaf girl yes. Upss”, said Ratih. Suddenly one boy picked up Kiya’s book. Kiya tries to pick up book from her friend, she running around in the classroom. Sheila looks emotionally seiing the incident. “Hey you guys dont do that”. Sheila shouted. “Beware she is angry”, shouted Ardi who had been carried Kiya’s book and throwing Kiya’s book to the floor. Kiya carried the book with a smilling face. Her friends felt weird. Sheila then helped to tidy up her stationery. In front of the gate, Kiya has been waited for her personal driver. She went straight into the car and waved to Sheila.
The day is getting late. “Hmmm, my mother not come home yet. I text her but no reply”. She was pensive and sit in the yard reading his favorite book. The sky is getting dark but Kiya’s mother has to come home yet. Finally she moved into her room and fell asleep in that place.
“Good morning my beautiful daughter”. Kiya who just opened her eyes immediately embraced his mother. “How was school yesterday? Sorry i came home really late”, explained Kiya’s mother with sign language. “The school is fun. Yes it’s okay”, she replied with sign language too. “Now get ready for go to school, i accompany you to school”, invite Kiya’s mother. Kiya immadiately took a towel and went to the bathroom. After the preparation is tidy. “M-om co-me on”, invite Kiya by mooving her lips and pulling her mother’s hand. “This is food for your friends. Distrbuted that!” Said Kiya’s mother while pointing to the food container that must Kiya take. Kiya quickly showed her both thumbs as an okay sign.
In the class all the student are busy with their respective activities. Kiya was looking at the food container she was carrying. "I want to share this food with all my friend but in what way I share it, Oh my God". Kiya now enters into a world she never knew. A world where many children move their mouths smoothly, a world of expression, a world full of conversation. Now there is no world where all children move their sign language just to play and even learn. But for Kiya the world remains the same. The world is in silence.
"Kiya". Call Sheila while touching Kiya's shoulder slowly. Without writing down anything, Kiya gives the food container to Sheila. "A lot of. For who? For all of us? "Sheila wrote the question. Kiya nods his head. "Friends, this is food for all of us from Kiya", Sheila spoke in front of the class. "Iih do not want to, i will can’t hear if i eat that", said Cantika. "Yes that fear", replied the other friends. "Hey all Kiya still can’t hear what our say hahaha", said Cantika again. "Okay if you guys do not want to. I give it to third grader". Sheila ran out of the classroom. With a puzzled face, Kiya came out and approached Sheila. From a distance seen Sheila who was feeding Kiya into third grader. After that Sheila smiles at Kiya and brings Kiya back into the classroom.
Day after day Kiya started socializing with her classmates. That day was a sporting subject. Kiya happily followed the lesson well. Run in the middle of the field above the scorching sun. "Hey, I'm curious about the tools in Kiya's ear, what the hell is that I willpulled that," said Ardi. "Yes that's what", reply their friend. Kiya keeps running around here. "One, two, three ...", they count. Ardi deliberately unplugged the tool attached to Kiya's ear. "Kiya, Kiya .. Kiya why", Sheila shocked to see blood coming out of Kiya’s ear. Immediately, Mr. Soni took Kiya to UKS. But because the Kiya’s ear still bleeding, Kiya immediately rushed to the clinic not far from the school. All the fourth graders were shocked, they went to class and fell silent on their stools. Tick, tock, tick, tock .. The sound of fast footsteps. "There's Mrs. Hani," Raka yelled. "Because you Kiya rushed to the clinic with critical condition". This sentence was thrown Mrs. Hani with a disappointed tone, then went straight to the classroom. Since then Kiya did not attend school. Since then Sheila often sitting alone in the school garden, it seems she felt lost friends and she missed the Kiya’s smile.
A few days later, Kiya returns to school but without using a uniform. She entered his classroom with a marker and began writing on the blackboard. "Good mornings friends. Forgive if as long as I'm studying in this class I'm a lot wrong, I interrupt your activities. From now on I will not do it again. I moved and went back to school with my old friends. Warm regards. Kiya ". All the fourth graders wept bitterly. Sheila ran to Kiya and hugged her tightly. Ardi prostrate at the feet of Kiya "Kiya do not go. Forgive me. I promise not to be evil to you anymore ". Kiya then replied "I lo-ve yo-u all. I w-nt to s-till he-re w-th yo-u all", while moving his lips and using the sign language Kiya threw the sentence. All the fourth graders embraced Kiya and invited Kiya again to keep learning with them.
Seeing the incident, Kiya’s motherdiscouraged to move Kiya to her old school and stay at that school with friends who love Kiya very much. Kiya is different from her friends, but she points out that a smile can turn her silent world into a colorful world of joy.
0 komentar:
Posting Komentar