SUARAPGRI - Kualitas pendidikan Indonesia kalah apabila dibandingkan dengan Vietnam. Meski sama-sama memberikan anggaran negara 20%, namun hasil pendidikan Vietnam lebih baik dengan peringkat 8 pendidikan terbaik di dunia.
Untuk mengejar itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, Indonesia harus memiliki standar pendidikan berkualitas. Standar ini wajib diikuti oleh seluruh daerah yang secara Undang-Undangan (UU) pendidikan sudah di delegasi ke daerah masing-masing.
"Kalau pendidikan kan secara undang-undang sudah didelegasikan ke daerah-daerah , peranan dari pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) tentu menciptakan apa yang disebut comparasi atau standarnya. Sehingga daerah yang memiliki kewenangan mereka harus mengikuti standar untuk melayani masyarakatnya," katanya di Energy Building, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Dia menegaskan, standar yang dimaksud adalah pelayanan pendidikan antar daerah. Setelah itu, jika pendidikan Indonesia mau ditingkatkan maka tata kelola penerimaan guru selama ini harus diperbaiki.
Dia mencontohkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengevaluasi mana guru yang berkualitas dan tidak. Pasalnya, secara total jumlah guru sudah memadai tapi kualitasnya yang masih kurang.
"Untuk itu Menteri Pendidikan berhak menetapkan mana yang kualitas dan tidak, sehingga tidak merupakan keputusan dari daerah yang menjadi keputusan pelik mengenai jumlah banyak tapi kualitas tidak ada dan malah bergantung dengan para guru honorer. Ini sesuatu yang tidak adil juga bagi mereka,"tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh mengatakan, anggaran pendidikan 2017 sebesar Rp416 triliun atau 20% dari APBN.
Dari jumlah tersebut Rp261 triliun diserahkan ke daerah dan Rp155 triliun untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbut), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan (Kemenristekdikti) dan Kementerian Agama (Kemenag).
"Ironisnya dari Rp261 triliun tadi,Rp247 triliun untuk haji dan tunjangan, yang porsi untuk belanja modal, untuk pembangunan, rehabilitasi, dan renovasi gedung sekolah hanya Rp7,7 triliun. Itu sebabnya banyak yang rusak sekolah di daerah," pungkasnya.
Menurutnya, hal itu menyebabkan pertama kualitas pendidikan menurun dan kedua kondisi sarana pendidikan kurang memadai. Dari datanya, jumlah ruang kelas untuk Sekolah Dasar (SD) yang rusak mencapai 178.194.
"Untuk itu diperlukan sekitar Rp20 triliun untuk lakukan rehabilitas 178.194 ruang kelas yang rusak. Sementara DAK pendidikan, rehabilitasi SD hanya Rp2,1 triliun. Artinya butuh 10 tahun untuk bisa merehab kalau Rp2 triliun setiap tahunnya," imbuhnya.
Dia juga mengungkapkan, dana untuk BOS, TPG, dan tunjangannya khusus guru meningkat dari Rp38 triliun (2011) menjadi Rp107 triliun (2017). Kenaikan hampir tiga kali lipat, tapi kualitas pendidikan masih rendah.
"Peringkat skor capaian siswa Indonesia untuk sains peringkat 62, membaca peringkat 61, mat peringkat 61. Itu semua dari 9 negara di tahun 2015," jelasnya.
Guru di Indonesia berjumlah 3.977.986. Sekira 54% adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), 55% non PNS, guru swasta, guru yayasan. Sebanyak 25% guru belum memenuhi persyaratan akademik.
"52% guru belum sertifikat profesi dan rasio guru dengan murid memang secara nasional sangat rendah. Tetapi distribusinya yang merata," katanya. (sumber: okezone.com)
Untuk mengejar itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, Indonesia harus memiliki standar pendidikan berkualitas. Standar ini wajib diikuti oleh seluruh daerah yang secara Undang-Undangan (UU) pendidikan sudah di delegasi ke daerah masing-masing.
"Kalau pendidikan kan secara undang-undang sudah didelegasikan ke daerah-daerah , peranan dari pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) tentu menciptakan apa yang disebut comparasi atau standarnya. Sehingga daerah yang memiliki kewenangan mereka harus mengikuti standar untuk melayani masyarakatnya," katanya di Energy Building, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Dia menegaskan, standar yang dimaksud adalah pelayanan pendidikan antar daerah. Setelah itu, jika pendidikan Indonesia mau ditingkatkan maka tata kelola penerimaan guru selama ini harus diperbaiki.
Dia mencontohkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengevaluasi mana guru yang berkualitas dan tidak. Pasalnya, secara total jumlah guru sudah memadai tapi kualitasnya yang masih kurang.
"Untuk itu Menteri Pendidikan berhak menetapkan mana yang kualitas dan tidak, sehingga tidak merupakan keputusan dari daerah yang menjadi keputusan pelik mengenai jumlah banyak tapi kualitas tidak ada dan malah bergantung dengan para guru honorer. Ini sesuatu yang tidak adil juga bagi mereka,"tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Boediarso Teguh mengatakan, anggaran pendidikan 2017 sebesar Rp416 triliun atau 20% dari APBN.
Dari jumlah tersebut Rp261 triliun diserahkan ke daerah dan Rp155 triliun untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbut), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan (Kemenristekdikti) dan Kementerian Agama (Kemenag).
"Ironisnya dari Rp261 triliun tadi,Rp247 triliun untuk haji dan tunjangan, yang porsi untuk belanja modal, untuk pembangunan, rehabilitasi, dan renovasi gedung sekolah hanya Rp7,7 triliun. Itu sebabnya banyak yang rusak sekolah di daerah," pungkasnya.
Menurutnya, hal itu menyebabkan pertama kualitas pendidikan menurun dan kedua kondisi sarana pendidikan kurang memadai. Dari datanya, jumlah ruang kelas untuk Sekolah Dasar (SD) yang rusak mencapai 178.194.
"Untuk itu diperlukan sekitar Rp20 triliun untuk lakukan rehabilitas 178.194 ruang kelas yang rusak. Sementara DAK pendidikan, rehabilitasi SD hanya Rp2,1 triliun. Artinya butuh 10 tahun untuk bisa merehab kalau Rp2 triliun setiap tahunnya," imbuhnya.
Dia juga mengungkapkan, dana untuk BOS, TPG, dan tunjangannya khusus guru meningkat dari Rp38 triliun (2011) menjadi Rp107 triliun (2017). Kenaikan hampir tiga kali lipat, tapi kualitas pendidikan masih rendah.
"Peringkat skor capaian siswa Indonesia untuk sains peringkat 62, membaca peringkat 61, mat peringkat 61. Itu semua dari 9 negara di tahun 2015," jelasnya.
Guru di Indonesia berjumlah 3.977.986. Sekira 54% adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), 55% non PNS, guru swasta, guru yayasan. Sebanyak 25% guru belum memenuhi persyaratan akademik.
"52% guru belum sertifikat profesi dan rasio guru dengan murid memang secara nasional sangat rendah. Tetapi distribusinya yang merata," katanya. (sumber: okezone.com)
0 komentar:
Posting Komentar