Konseling Kelompok (Group Counselling)
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Konseling kelompok adalah suatu proses dalam bentuk pengubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku termasuk dalam hal pemecahan masalah dapat terjadi melalui proses kelompok. Latipun (2008, hlm. 178) menyatakan bahwa konseling kelompok merupakan “salah satu bentuk konseling yang memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberikan umpan balik (feedback), dan pengalaman belajar”. Prayitno (2004, hlm. 1) mengemukakan konseling kelompok merupakan “proses layanan konseling secara berkelompok dengan mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan, pribadi, dan pemecahan masalah individu anggota kelompok”.
Berdasar sejumlah pengertian tersebut, maka dapa disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah bentuk layanan konseling yang dilaksanakan secara berkelompok antara konselor sebagai pemimpin kelompok dan sejumlah individu. Antar anggota kelompok saling membantu memecahkan masalah yang ada dalam kelompok melalui dinamika kelompok yang intensif dan konstruktif.
Tujuan konseling kelompok dikemukakan oleh Gibson dan Mitchell (dalam Latipun, 2008, hlm. 181) “konseling kelompok berfokus pada usaha membantu klien dalam melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuaian sehari-hari, misalnya modifikasi tingkah laku, pengembangan keterampilan hubungan personal, nilai, sikap, atau membuat keputusan karir”.
Menurut Myrick (dalam Sciarra, 2007, hlm. 40-41) menjelaskan tipe konseling kelompok dalam lingkup sekolah terdapat tiga (3) macam, yakni:
1. Crisis centered group
Tipe ini merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan-permasalahan yang bersifat urgent (mendesak untuk diselesaikan), karena jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan hambatan yang serius bagi siswa. Pada konseling tipe ini, anggota kelompok terdiri atas empat (4) sampai enam (6) peserta agar konseling berjalan lebih efektif, sedangkan pertemuan tidak lebih dari lima (5) sesi, namun dengan pendekatan yang sangat intensif.
2. Problem centered group
Tipe ini merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan-permasalahan yang bersifat umum dan sedikit kurang urgent atau di bawah standar masalah pada crisis centered group. Tipe ini biasanya menyelesaikan masalah siswa yang berkaitan dengan masalah pribadi, sosial, karir, atau akademis.
3. Growth centered group
Tipe ini merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk meningkatkan pencapaian tahap perkembangan siswa. Pada proses ini konselor akan mengelola dan mengimplementasikan program bimbingan yang berbasis tahap perkembangan. Konseling ini dilaksanakan untuk semua siswa, baik yang memiliki masalah maupun yang tidak terkait dengan tugas perkembangan, sehingga semua siswa memiliki pengetahuan dan paham terhadap tugas perkembangannya. Selama konseling ini berlangsung konselor akan mengidentifikasi siswa-siswa yang membutuhkan konseling lanjutan yang lebih intensif.
Prayitno (2004, hlm. 18) mengemukakan tahapan dalam penyelenggaraan konseling kelompok, sebagai berikut:
1. Tahap pembentukan
Tahap ini untuk membentuk kerumunan sejumlah individu menjadi satu kelompok yang siap mengembangkan dinamika kelompok dalam mencapai tujuan bersama. Kegiatan dalam tahap pembentukan, di antaranya:
a. Mengungkap pengertian dantujuan kegiatan kelompok dalam rangka konseling kelompok. Hal ini dilakukan agar masing-masing anggota mengerti apa yang dimaksud dengan konseling kelompok dan kenapa konseling ini dilaksanakan.
b. Menjelaskan cara dan norma kegiatan kelompok. Melalui penjelasan ini, masing-masing anggota akan tahu aturan main yang akan diterapkan dalam konseling kelompok. Jika ada masalah di perjalanan nanti, mereka akan mengerti bagaimana cara menyelesaikannya.
c. Saling memperkenalkan diri, mengungkapkan diri, saling mempercayai, dan saling menerima, agar suasana kelompok terjalin lebih akrab. Sehingga tidak ada rasa canggung terhadap anggota kelompok yang lain. Ditekankan juga tentang asas kerahasiaan, semua informasi yang dibicarakan dalam kelompok hanya menjadi konsumsi mereka saja, tidak untuk orang di luar kelompok.
d. Menentukan agenda kegiatan. Jika agenda kegiatan ditentukan atau disepakati bersama, semangat kebersamaan akan lebih terasa.
2. Tahap peralihan
Tahap ini untuk mengalihkan kegiatan awal kelompok ke kegiatan berikutnya yang lebih terarah pada pencapaian tujuan kelompok. Kegiatan dalam tahap peralihan, antara lain:
a. Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya.
b. Mengamati dan menawarkan apakah anggota sudah siap memasuki tahap selanjutnya.
c. Membahas suasana yang terjadi.
d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota.
e. Bila perlu kembali kepada beberapa aspek tahap pertama.
3. Tahap kegiatan
Tahap ini merupakan kegiatan inti untuk membahas topik-topik tertentu atau mengentaskan masalah pribadi anggota kelompok. Kegiatan dalam tahap ini, di antaranya:
a. Pemimpin kelompok mengemukakan suatu masalah atau topik.
b. Tanya jawab antara anggota dan pemimpin kelompok tentang hal-hal yang belum jelas menyangkut topik masalah.
c. Anggota membahas masalah atau topik tersebut secara mendalam dan tuntas.
d. Kegiatan selingan.
4. Tahap pengakhiran
Pada tahap akhir kegiatan dilihat kembali apa yang sudah dilakukan dan dicapai oleh kelompok, serta merencanakan langkah selanjutnya. Kegiatan pada tahap ini, antara lain:
a. Pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan berakhir.
b. Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.
c. Merencakan kegiatan selanjutnya.
d. Mengemukakan pesan dan harapan.
e. Menghentikan kegiatan.
Latipun (2008, hlm. 185) mengemukakan terkait dengan hal yang perlu diperhatikan dalam konseling kelompok, yakni:
1. Struktur dalam kelompok
Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang yang terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan bagi suatu terapi kelompok, dan sifat kelompok.
2. Jumlah anggota kelompok
Jumlah anggota kelompok yang efisien dalam penyelenggaraan konseling kelompok berkisar antara 4-12 orang.
3. Homogenitas kelompok
Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai homogenitas keanggotaan suatu kelompok konseling. Sebagian konseling ada yang dibuat homogen dari segi jenis kelamin, jenis masalah, gangguan, kelompok usia, dan sebagainya. Namun terkadang juga homogenitas tidak diperhitungkan. Penentuan homogenitas keanggotaan disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengelola kelompok konseling.
4. Sifat kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka maupun tertutup. Terbuka jika konseling kelompok dapat menerima anggota baru selama konseling berlangsung dan tertutup jika tidak dapat menerima anggota baru selama konseling berlangsung. Penentuan terbuka atau tertutup disesuaikan dengan kemampuan konselor dalam membentuk dan memelihara kohesivitas.
5. Waktu pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat tergantung pada kompleksivitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok membutuhkan waktu pertemuan antara 8-20 pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali seminggu dengan durasi antara 60 sampai 90 menit setiap pertemuan. Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok.
Kompetensi konselor yang harus dimiliki dalam menyelenggarakan konseling kelompok menurut Powdermaker dan Franks (dalam Sukardi, 1993, hlm. 462), antara lain:
1. Menyamaratakan ucapan-ucapan, kata-kata, atau tanggapan antara klien yang satu dengan klien yang lain, dengan harapan klien yang lain berkeinginan untuk melihat kaitan antara diskusi dan dirinya.
2. Menekankan kesamaan antara dua atau lebih emosi-emosi dan masalah klien.
3. Ungkapan, kata-kata, atau ucapan dari klien adalah merupakan pernyataan atau penjelasan mengenai dirinya kepada para anggota dalam kelompok.
4. Menganjurkan serta mendorong semua anggota untuk respek terhadap pertanyaan yang diajukan oleh klien lain.
5. Menekankan pentingnya kontinuitas pertemuan.
6. Memanfaatkan dengan sebaik-baiknya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum dengan penuh keakraban.
7. Membantu klien mengaitkan apa yang telah dibahas atau dibicarakan dengan perkembangan dirinya.
Referensi
Latipun (2008). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Prayitno (2004). Layanan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok. Padang: Universitas Negeri Padang.
Sciarra, D. (2007). School Counselling. USA: Cole-Thomson Learning.
Sukardi, D. K. (1993). Psikologi Pemilihan Karir. Jakarta: PT Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar