Tari Pakarena
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Pakarena berasal dari bahasa Makassar, karena yang berarti main. Dengan mendapat prefiks “pa” yang menandakan pelaku, jadi pakarena dapat diartikan si pemain. Kara karena dalam konteks ini diartikan sebagai tari sehingga pakarena dapat diartikan penari. Tidak diketahui dengan pasti kapan, untuk, dan siapa yang menciptakan tari pakarena, namun yang pasti kesenian ini sempat menjadi tarian resmi istana pada masa Raja Gowa ke-16.
Kehadiran tari pakarena seringkali dikaitkan dengan mitologi To Marunung (orang yang turun dari langit) yang berkembang pada masyarakat suku Makassar. Ada dua versi menyangkut hal ini, yakni:
1. Versi pertama adalah pada saat kerajaan Gowa Purba mengalami chaos dari sembilan kelompok pendukungnya. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan seorang sosok pemimpin yang dapat menyatukan mereka. Hingga akhirnya terdengarlah kabar kedatangan seorang putri yang turun dari langit dan menyatakan kemampuan dalam menyelesaikan persoalan Gowa. Ia berjanji akan menyatukan negeri dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Sontak ia diangkat sebagai raja oleh mereka yang sebelumnya selalu berseteru. Sang putri kemudian mengajarkan aturan-aturan adat termasuk gerakan-gerakan tarian yang dijadikan pada masa itu dan kemudian dikenal dengan tari pakarena.
2. Versi kedua menceritakan bahwa tari pakarena bermula pada mitos perpisahan To Manurung. To Manurung yang telah mengajarkan banyak hal mengenai kehidupan di bumi, antara lain bercocok tanam, beternak, menangkap ikan, mengurus rumah tangga, bermasyarakat, dan lainnya. Setelah To Manurung meninggalkan mereka, maka dibuatlah tarian untuk mengenangnya dan mengucapkan rasa syukurnya dengan menirukan gaya dan perilakunya saat bersama-sama di kerajaan Gowa.
Tarian pakarena dulunya hanya ditarikan di dalam istana kerajaan Gowa oleh putri-putri bangsawan, menjadi pelengkap dan wajib dipertunjukkan pada saat upacara adat atau pesta-pesta kerajaan. Menggelar tarian pakarena dengan diiringi tabuhan ganrang oleh masyarakat Gowa merupakan simbolisasi penghargaan kepada nenek moyang atau leluhur, sehingga tarian ini tidak boleh lalai dilakukan karena ada gangguan dari arwah leluhur yang merasa tidak mendapatkan penghormatan yang sepantasnya.
Tarian Pakarena dibawakan oleh 3, 4, 6, atau lebih penari perempuan yang memperlihatkan kelembutan perempuan suku Makassar. Tarian ini lebih banyak menampilkan gerakan tangan yang terayun ke samping (kiri-kanan) dan ke depan secara beraturan dan lamban. Namun, gerakan tangan tersebut terangkat paling tinggi hanya sebatas bahu tidak pernah terangkat hingga setinggi kepala. Tangan kanannya memegang kipas. pandangan penari selalu tertuju ke lantai paling jauh dua atau tiga meter dari ujung kakinya. Gerakan kaki hanya bergeser (ke kanan, kiri, depan belakang) dan tidak terangkat dari permukaan lantai.Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Tari pakarena pada awalnya disajikan sebagai pementasan tari semalam suntuk, dimulai pada pukul delapan malam, dilanjutkan dengan babak kedua yang disajikan pada pukul 24.00 malam, hingga akhirnya sampai pada bagian penutup yang dilakukan pada waktu shubuh. Panjangnya pementasan tarian ini menyebabkan dibutuhkan beberapa penari dan pemusik cadangan yang siap menggantikan penari pertama yang pentas.
Gerakan dalam tarian ini sangat lembut dan gemulai kadang naik kadang turun, kadang meliuk dengan anggunnya dan diiringi tetabuhan gendang yang bertalu-talu. Sebuah tarian tradisional Makassar yang mencerminkan sikap teduh, hening, dan kontemplatif. Pakarena adalah sebuah tarian ritus yang mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan dan bercerita tentang ritme kehidupan.
Atribut yang digunakan pada pertunjukkan tari pakarena, antara lain:
1. Baju bodo
Baju bodo adalah pakaian tradisional masyarakat Bugis Makassar. Bajo bodo dibuat dari kain kasa yang transparan dengan lengan yang pendek dan dijahit bersambung dengan bagian lengan bagian dalam. Ukuran panjangnya hingga mencapai bagian lutut dan berbentuk persegi empat. Baju bodo memiliki warna-warna tertentu yang pada zaman dulu menjadi penanda stratifikasi sosial masyarakat. Misalnya, warna hijau dan kuning menunjukkan pamakainya adalah dari golongan bangsawan, warna putih menunjukkan indo pasusu (ibu yang menyapih), dan beberapa warna lainnya. Seiring berkembangnya zaman, penggunaan baju bodo sudah bersifat umum dengan dipadukan dengan beragam warna lain sehingga membuatnya semakin menarik dan bahan kain yang terbuat dari sutera.
2. Sarung/top
Sarung yang dipakai dulunya adalah sarung polos tidak bercorak dan hanya warna putih kuning, namun sekarang sudah dikenakan pula sarung yang memiliki motif seragam.
3. Selendang
Selendang ini diselempang di pundak sebelah kiri dan dimainkan dengan tangan kiri. Warnanya biasanya disesuaikan dengan warna baju bodo yang dikenakan.
4. Kipas
Kipas yang dipakai adalah kipas yang biasa, tidak ada model khusus dan dimainkan dengan tangan kanan.
Tarian ini terbagi-bagi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Samboritta (berteman) Samboritta disebut juga paulu jaga yaitu kegiatan begadang semalam suntuk. Ada juga yang mengartikan samboritta sebagai awal tarian yaitu memberi hormat kepada pengunjung. Bagian ini merupakan bagian pertama dalam pertunjukan.
2. Jangang leak-leak (ayam berkokok) Tari pakarena dulunya dipentaskan semalam suntuk sehingga bagian penutupnya biasanya berlangsung sekitar jam 04.00 subuh, sehingga disebut jangang leak-leak yaitu saat ayam mulai berkokok.Tarian ini merupakan bagian ketiga dalam tari pakarena yang bermakna mencari jalan kembali ke asal mula.
Selain kedua jenis pakarena tersebut, terdapat 11 jenis pakarena yang lain, sebagai berikut:
1. Ma’biring kassi, artinya mendarat ke pantai, disajikan pada babak kedua yang mempunyai makna permohonan yang terkabul.
2. Bisei ri lau’(dayung ke timur), disajikan juga pada babak kedua, mempunyai makna bergerak ke arah timur yaitu arah terbitnya matahari sebagai sebuah spirit kehidupan di muka bumi.
3. Angingkamalino (angin tanpa hembusan), tarian dalam babak kedua, sebagaimana angin yang tidak berhembus sehingga tidak membawa kesejukan, tarian ini menggambarkan rasa kecewa.
4. Anni-anni (memintal benang), juga disajikan pada babak kedua. Bagian ini mempunyai makna bahwa sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan penuh ketekunan pasti akan membuahkan hasil kelak. Tari pakarena jenis ini biasanya ditarikan dalam upacara perkawinan.
5. Dalle tabbua (meniti nasib dengan sabar), ditarikan pada babak kedua, mengandung makna filosofis bahwa hidup di muka bumi ini harus dijalani dengan penuh kesabaran.
6. Nigandang (berulang-ulang), juga ditarikan pada babak kedua, bermakna bahwa segala sesuatu seringkali harus dilakukan secara berulang-ulang tanpa rasa putus asa, hingga pada akhirnya akan memberikan kesudahan yang baik.
7. So’nayya (bermimpi), ditarikan pada babak kedua, mengandung makna bahwa sebagai seorang manusia kita tidak boleh mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi tanpa disertai usaha dan daya upaya yang setimpal dengan mimpi yang kita cita-citakan.
8. Iyolle’, (mencari kebenaran), bahwa kebenaran haruslah terus dicari agar hidup menjadi tenang hati menjadi tenteram.
9. Lambassari(kekecewaan), berarti apa yang kita usahakan dalam hidup ini seringkali berakhir dengan kekecewaan.
10. Leko’ bo’dong (bulat sempurna), diumpamakan dengan bulan purnama yang dianggap memiliki bentuk bulat yang sempurna dan bersinar terang.
11. Sanro beja’(dukun beranak), disajikan pada babak kedua, menampilkan pemaknaan tentang cara merawat diri bagi perempuan yang baru saja melahirkan. Sesuai dengan penamaannya, tarian ini umumnya dipentaskan dalam upacara kelahiran.
Syair atau lagu yang diperdengarkan saat menarikan tarian pakarena ini tidaklah selalu sama akan tetapi disesuaikan dengan pesta yang diadakan. Misalnya, jika tarian ini dipentaskan pada saat acara penyambutan pahlawan-pahlawan perang atau pada pesta bulan purnama. Salah satu lagu yang sudah dikenal di masyarakat sebagai lagu pengiring dalam tarian ini adalah lagu yang berjudul Dongang-Dongang.
0 komentar:
Posting Komentar