Demokrasi dalam Pendidikan Indonesia
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Pada masa lampau, pendekatan yang sentralistik dan cenderung kepada totaliterisme bukan merupakan hal yang tabu. Berbagai bentuk penyelenggaraan sentralistik yang menghilangkan inisiatif pribadi dan masyarakat sangat akrab dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan serta manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan lulusan pendidikan tanpa inisiatif. “Pendidikan kita nyaris tanpa adanya perubahan metodologi dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi akan berjalan secara indoktiner” (Tilaar, 2000, hlm. 87). Kebebasan berpikir, kebebasan merumuskan, dan menyatakan pendapat yang berbeda tidak mendapat tempat.
Gelombang demokratisasi mempunyai konsekuensi lebih lanjut dalam desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Sejalan dengan arus demokratisasi dalam kehidupan manusia, maka desentralisasi pendidikan akan memberikan efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan, pemerataan, dan biaya pendidikan. Meskipun demikian, desentralisasi pendidikan tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan dalam arti peningkatan mutu pembelajaran.
Demokratisasi pendidikan ternyata belum sepenuhnya terlaksana di Indonesia. Pendidikan negeri menjadi favorit karena seakan-akan tidak memerlukan biaya. Pendidikan swasta yang benar-benar dilaksanakan oleh masyarakat ternyata harus berdiri sendiri. Di sisi lain, perlunya kurikulum yang memiliki spektrum luas sehingga semua anak dengan kemampuan intelegensi yang bermacam-macam dapat dikembangkan secara optimal.
Demokratisasi proses pendidikan bermakna menjamin dan mengembangkan kebebasan akademik. Terutama pendidikan tinggi merupakan benteng pengembangan moral masyarakat dan menjadi lembaga pengontrol dari pelaksanaan nilai-nilai kebenaran, keindahan, moral, dan agama. Sejalan dengan itu, proses pendidikan bukan merupakan suatu indoktrinasi tetapi proses pengembangan kesadaran akan kebenaran. Demokrasi tidak dapat dikembangkan dengan menghilangkan pemikiran kritis atau pemikiran alternatif, tetapi hanya dapat berkembang di dalam kebebasan berpikir kritis dan tanggung jawab atas alternatif yang dipilih.
Gagasan demokratisasi didasari oleh pertimbangan sederhana, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tetapi dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholderdan user sekolah tentang kompetensi siswa yang akan dihasilkan. Gagasan demokratisasi juga dikembangkan dengan sebuah paradigma tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran. Pembahasan tentang bagaimana permintaan stakeholder terhadap sekolah memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan sekolah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut, dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologi siswa serta kemampuan sekolah dalam memberikan layanan kepada client-nya. Pelibatan siswa dalam membahas perencanaan operasional pengembangan proses pembelajaran akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis, dan penuh keceriaan karena aspiratif dan sesuai dengan permintaan siswa.
Terkait dengan demokratisasi penyelenggaraan sekolah, setidaknya terdapat tiga aspek yang menjadi pusat perhatian, yakni demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan, dan impelementasi kurikulum di sekolah. Demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas memberi perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Semua memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua harus berakhir dengan batas minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan.
Proses penyusunan, evaluasi, dan pengembangan kurikulum yang dilaksanakan dalam prinsip-prinsip demokratisasi pendidikan dicoba untuk diurai secara detail. Demikian pula penyusunan kurikulum operasional yang harus dikembangkan oleh guru dengan mempertimbangkan stakeholder, user serta perkembangan kemampuan siswa sendiri, semuanya dicoba dijelaskan tidak saja secara konsep dan teori, tetapi juga instrumen praktisnya, sehingga ilmu ini dapat diuji kebenaran implementatifnya dengan pengalaman-pengalaman empirik di lapangan.
Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik bila pola pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik, dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal sekolah. Usulan-usulan kreatif guru akan selalu tersandung oleh aturan-aturan birokrasi dan kekuasaan vertikal. Oleh sebab itu, demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan demokratisasi dalam pengelolaan sekolah.
Praktik sekolah demokratis tentu memerlukan pelibatan. Pada konteks assessment kurikulum, pelibatan aspiratif untuk menjaring berbagai gagasan pengembangan, dapat diajukan pada semua pihak dalam penyelenggara pendidikan.
Referensi
Tilaar, H. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar