Perkembangan Bimbingan dan Konseling Pra Lahirnya Pola 17
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah pada tahun 1960an di sekolah diselenggarakan dengan pola yang belum jelas. Ketidakjelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra Bimbingan dan Konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. Munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing, sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif, dan miskonsepsi berlarut.
Berbagai masalah yang muncul pada kala itu, di antaranya:
1. Konselor sekolah dianggap polisi sekolah.
2. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai pemberi nasehat.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada menangani masalah yang insidental.
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi untuk klien-klien tertentu saja.
5. Bimbingan dan Konseling hanya melayani siswa yang bermasalah.
6. Bimbingan dan Konseling bekerja sendiri.
7. Adanya anggapan bahwa pekerjaan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.
8. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama saja.
9. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien.
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang kurang jelas. Ketidakjelasan ini harus diterapkan karena sebab-sebab berikut:
1. Belum adanya dasar hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil mengeluarkan keputusan penting, yakni terbetuknya organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Namun, sampai saat itu payung hukum Bimbingan dan Konseling di Indonesia belumlah jelas arahnya.
2. Kurangnya tenaga profesional di bidang Bimbingan dan Konseling
Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada aturan tersebut dikatakan bahwa tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing. Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah kurang jelas arahnya. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
3. Pola Bimbingan dan Konseling yang belum jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan, dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Konseling dilaksanakan belumlah jelas. Di sekolah, Bimbingan dan Konseling banyak diberikan kepada guru-guru senior, guru yang mau pensiun, dan guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kredit. Guru tersebut jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya.
Selain itu, pola yang belum jelas dalam Bimbingan dan Konseling itu mengakibatkan:
1. Guru Pembimbing belum mampu mengoptimalkan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya.
2. Guru Pembimbing sering kali merangkap pustakawan, pengumpul, dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
3. Guru Pembimbing ditugasi sebagai polisi sekolah yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah, seperti terlambat masuk, tidak memakai atribut pakaian yang lengkap, dan sebagainya.
4. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolah.
5. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi Bimbingan dan Konseling.
0 komentar:
Posting Komentar