Kerajaan Gowa dan Tallo (Kerajaan Makassar)
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan baik. Kedua kerajaan tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Makassar sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang juga disebut sebagai Ujung Padang.
Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan kondisi tersebut, Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang dari Sumatera. Pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makassar kala itu juga memeluk agama Islam. Raja Makassar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin, memerintah Makassar pada tahun 1591-1638, dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) yang bergelar Sultan Abdullah. Sejak itu, Kerajaan Makassar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639-1653).
Kerajaan Makassar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653-1669). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Makassar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, yaitu dengan menguasai daerah-daerah subur serta daerah-daerah yang menunjang keperluan perdagangan Makassar. Kerajaan Makassar berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Perluasan daerah Kerajaan Makassar tersebut bahkan sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu, ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC, yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu, hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh Kerajaan Makassar. Dengan kondisi tersebut, maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut, Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Kerajaan Makassar, yakni dengan melakukan politik adu domba antara Kerajaan Makassar dan Kerajaan Bone. Raja Bone kala itu, yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Kerajaan Makassar mengadakan persetujuan dengan VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Makassar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota Kerajaan Makassar.
Secara terpaksa Kerajaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan menandatangani perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang berisi:
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Kerajaan Makassar.
2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makassar.
3. Kerajaan Makassar harus melepaskan daerah-daerah kekuasaannya, seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makassar.
4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makassar terhadap Belanda tetap berlangsung. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makassar, dan Kerajaan Makassar mengalami kehancurannya.
Adapun hasil-hasil kebudayaan dari Kerajaan Gowa dan Tallo, antara lain:
1. Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng peninggalan masa kejayaan kerajaan Gowa dan Tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi Kallonna pada tahun 1545. Karena awalnya berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-14, yakni Sultan Alaudin kemudian memugar bangunan benteng dengan bahan batu padas yang diperoleh dari Pegunungan Karts di Maros.
2. Batu Pallantikang
Batu Pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa dan Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari kahyangan. Karena anggapan tersebut, sesuai namanya batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di Kerajaan Gowa dan Tallo. Batu ini masih berada di tempat aslinya, yakni di Tenggara Kompleks Pemakaman Tamalate.
3. Masjid Katangka
Masjid Katangka atau dikenal dengan Masjid Al-Hilal adalah masjid peninggalan Kerajaan Gowa dan Tallo yang diperkirakan dibangun pada tahun 1603. Masjid ini secara administratif terletak di Desa Katangka, Kecamatan Somba Opu, Gowa. Nama katangka diyakini berasal dari nama bahan pembuatnya, yaitu kayu katangka.
4. Kompleks Makam Katangka
Di areal Masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman dari mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk makam Sultan Hasannudin. Makam raja-raja dapat dikenali dengan mudah karena diatapi dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya ditandai dengan batu nisan biasa.
5. Makam Syekh Yusuf
Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman kolonial Belanda. Pengaruhnya sangat besar bagi perlawanan rakyat Gowa dan Tallo terhadap penjajah, membuat Belanda mengasingkannya ke Srilangka, kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di dataran rendah Lakiung, sebelah barat Masjid Katangka.
0 komentar:
Posting Komentar